Pagi ini, seperti biasa, saya sarapan di Warteg dekat kosan. Warteg ini merupakan warung makan satu-satunya yang buka sejak jam 7 pagi. Karena itu, biarpun udah bosan makan disana, saya mau tidak mau harus sarapan disana. Sebenarnya ada juga warung lain yang buka di pagi hari, tetapi warung-warung tersebut tidak menyediakan nasi (makan berat), melainkan bubur kacang ijo, indomie, roti, dan sebagainya.
Pagi ini, sekitar jam 8 pagi, saya sarapan lagi di warteg tersebut. Saya memilih lauk yang saya inginkan dan kemudian mulai melahap makanan tersebut. Ga lama kemudian, seorang bapak (saya perkirakan umurnya kira-kira 45-50 tahun) dengan menaiki motornya datang lalu memesan makanan. Kemudian Bapak tersebut duduk makan disebelah saya.
Saya sangat sering bertemu dengan Bapak tersebut di Warteg itu. Hampir setiap pagi si bapak itu makan disana.
Saya bingung dan bertanya-tanya "Mengapa si Bapak ini sering sekali makan di warteg? Apakah istrinya ga menyediakan sarapan pagi untuknya?"
Saya selalu berprinsip, biar bagaimanapun, jika saya sudah berkeluarga nanti, saya ingin selalu untuk menyantap masakan buatan tangan istri saya sendiri. Tetapi saya tidak menuntut istri saya harus jago masak. Tidak sama sekali. Karena saya percaya skill masak itu bisa dipelajari oleh siapapun.
Bukankah sangat indah dan nikmat rasanya, jika kita sekeluarga duduk makan dirumah dengan satu meja makan dengan anak-anak kita. Memakan masakan buatan istri sendiri. Saya bisa membayangkan betapa indahnya saat-saat seperti itu. Bahkan, sampai saat ini saya selalu berprinsip, sesibuk apapun nantinya saya dalam pekerjaan saya, makanan buatan istri saya haruslah menjadi santapan saya dipagi,siang, dan malam hari. Bukan karena enaknya masakan, tapi karena masakan istri sendiri pasti di bumbui dengan bumbu rahasia yang tidak akan kita temukan dirumah makan manapun di dunia ini.
Bumbu ajaib itu bernama "cinta kasih".
No comments:
Post a Comment