Tuesday, July 24, 2012

Kebenaran : Jangan Mengorbankan Kebenaran Atas Nama Toleransi #2

Ada perbedaan antara kebenaran dan keyakinan. Keyakinan tiap-tiap orang bisa saja berbeda, tetapi kebenaran hanya ada satu. Oleh karena itu keyakinan seseorang bisa saja keliru tetapi kebenaran tidak pernah salah.

Di zaman postmodern ini, saya seringkali mendengar beberapa teman berkata bahwa kebenaran itu bersifat relatif. Sebenarnya saya menduga bahwa mereka bermaksud agar orang bisa bertoleransi terhadap keyakinan (bukan kebenaran) yang dianut oleh orang lain. Tetapi, akan sangat disayangkan apabila kita mengorbankan kebenaran dengan dalih toleransi.

Keyakinan kita hari ini bisa saja masih keliru, tetapi jika kita mau terus mencari kebenaran kita akan menemukannya. Kebenaran itu bukanlah sesuatu yang mustahil untuk ditemukan, asalkan kita mau mencari kebenaran itu dengan pikiran yang terbuka dan kerendah hatian. Kita bisa meneliti fakta-fakta sejarah, benda-benda, dokumen-dokumen, buku-buku, dan bukti-bukti lain untuk menemukan kebenaran. Kuncinya ialah kehausan yang dalam, pikiran yang terbuka, dan sikap rendah hati untuk mencari kebenaran.

Saya akan melangkah lebih jauh tentang masalah agama, dan berikut ini adalah kutipan dari blog seorang sahabat (lagi)
Saya memang belum pernah mendengar secara langsung perdebatan antara atheist dan believer. Dalam benak saya kalau saya bayangkan perdebatan mereka, pasti seru. Yang pernah saya lihat ketika browsing internet adalah perdebatan antar agama. Yang paling sering adalah perdebatan antara Muslim dengan Nasrani. Keduanya bersikeras saling membela kebenaran masing-masing. Ketika saya baca dan saya memaksa otak saya untuk tidak berpihak kepada agama sendiri, ternyata dari kedua belah pihak banyak pendapat yang kelihatan salah tapi selalu dipertahankan. Biasanya perdebatan seperti ini tidak ada habis-habisnya. Sudah sifat manusia mempertahankan egonya. Ujung-ujungnya saling memaki dan menghina agama tetangganya.
Saya sangat menyesalkan beberapa orang Kristen berdebat tentang agama dengan orang non-Kristen dengan tidak berdasarkan kasih terhadap orang yang berdebat dengannya. Padahal inti ajaran Kristen adalah tentang Kasih. Perdebatan yang tidak dimotivasi oleh kasih akan menjadi perdebatan yg penuh amarah, cacian makian, dan saling mempertahankan egonya masing-masing.
Rasul Petrus dalam kitab 1 Petrus 3:15 sudah mengingatkan setiap orang Kristen agar kita memakai dasar kasih untuk membela dan memberikan jawaban terhadap orang-orang yang mempertanyakan iman Kristen.

But sanctify the Lord God in your hearts: and be ready always to give an answer to every man that asketh you a reason of the hope that is in you with meekness and fear: (KJV)
Meekness = kelemahlembutan/kesabaran
Fear = kehati-hatian

Di dunia ini memang ada banyak agama yang diyakini. Setiap agama tidaklah sama. Saya selalu menyayangkan statement seseorang yang berkata bahwa semua agama/kepercayaan itu sama benarnya. Menganggap bahwa semua kepercayaan itu sama benarnya hanyalah omong kosong belaka, karena itu artinya sanggahan terhadap pernyataan itu juga benar, artinya semua agama menjadi tidak benar. Maksud saya begini, misalnya anda berkata bahwa semua kepercayaan (agama) itu sama benarnya, lalu dengan kepercayaan saya (yang mana menurut anda bahwa kepercayaan saya juga sama benarnya dengan kepercayaan anda), saya berkata bahwa saya percaya tidak ada agama yang benar. Artinya anda juga menganggap benar kepercayaan saya tentang tidak adanya agama yang benar. Bagaimana mungkin anda  dalam waktu yang bersamaan membenarkan dua kepercayaan yang dengan jelas anda tahu sangat berbeda.

Semua agama tidak sama. Semua agama tidak mengatakan bahwa semua agama sama. Di jantung setiap agama terdapat suatu komitmen tanpa kompromi terhadap suatu cara spesifik utnuk mendefinisikan identitas Allah dan sebagai hasilnya, mendefinisikan tujuan hidup. Siapapun yang mengklaim semua agam sama bukan hanya menunjukkan bahwa ia tidak mengenal semua agama. Setiap agama pada intinya bersifat ekslusif. 

Dalam tulisan-tulisan berikutnya, saya akan mencoba menampilkan mengapa iman Kristen merupakan kepercayaan yang harus kita perhatikan secara serius. Saya berdoa dan berharap agar kita bisa dengan fair, rendah hati, dan memiliki pikiran yang terbuka untuk mencari kebenaran sejati. Karena kebenaran hanya ada satu. Jikalaupun tidak, anggaplah tulisan ini sebagai bahan yang dapat memperluas perspektif anda dalam mencari kebenaran.
Berbahagialah orang yang menemukan/ditemukan oleh Kebenaran
Bacaan Rujukan :
1. Conversational Evangelisem
2. Jesus Among Other Gods
3. Who Made God
4. Mere Christianity

Sunday, July 22, 2012

Kebenaran : Mutlak atau Relatif? #1

Dalam postingan-postingan berikutnya, saya akan banyak membahas tentang topik KEBENARAN. Saya akan mencoba menulis nya per bagian sehingga tidak terlalu panjang dan saya juga punya waktu yang lebih banyak untuk menggalinya.
*********
"Bagi saya kebenaran itu adalah apa yang diterima dan disetujui oleh logika dan hati nurani kita" (dikutip dari blog seorang sahabat)
Setidaknya ada tiga kata kunci dalam kalimat diatas. Kebenaran, Logika, dan Hati Nurani. 

Sebelum membahas lebih jauh, kita seharusnya sepakat dahulu bahwa dua opini berbeda tetapi membicarakan topik yang sama tidak mungkin benar secara bersamaan. Pasti ada yang salah. Jika mata kepala anda melihat si X membunuh si Y, maka kebenarannya adalah si X adalah pembunuh. Jika ada orang yang tidak menyaksikan kejadian itu tetapi berkata bahwa pembunuhnya adalah si Z, maka itu tentu saja salah. Jika kebenaran itu relatif, maka pembunuh si Y, bisa saja si X dan bisa saja si Z, bukan? Buat saya, kebenaran adalah sesuatu yang mutlak. Kebenaran tidak tergantung pada opini siapapun. 

Relatif. Kalimat diatas sebenarnya secara implisit mengatakan bahwa kebenaran itu bersifat relatif buat tiap-tiap orang. Karena logika dan hati nurani setiap orang tentu tidak sama kadarnya. Logika anak TK dan hati nurani Adolf Hitler tentu berbeda dengan logika Mahasiswa dan hati nurani Bunda Theresa. Jika kebenaran itu adalah apa yang diterima dan disetuji oleh logika dan hati nurani setiap orang, maka tentu tidak ada yang namanya kebenaran mutlak. Yang ada adalah kebenaran itu bersifat relatif. Itulah maksud kalimat dalam blog sahabat saya tersebut. Apa yang benar bagi nurani seorang Adolf Hitler tentu bertolak belakang dengan apa yang benar bagi nurani seorang Bunda Theresa. Bagi Hitler, kebenaran itu adalah membunuh semua ras yang lemah, sementara bagi Bunda Theresa, kebenaran itu adalah mengasihi kaum-kaum miskin. Jika kebenaran itu bukan sesuatu yang mutlak, maka kacaulah seluruh dunia ini karena orang pasti melakukan apa yang dia anggap benar.

Tapi, disinilah letak kefatalan kalimat diatas. Ketika anda menyatakan bahwa "kebenaran itu bersifat relatif", maka pernyataan itu sendiri pun sudah relatif. Orang lain tidak harus percaya dengan pernyataan anda dimana anda mengganggap benar bahwa kebenaran itu relatif. Kalimat "kebenaran bersifat relatif" itu adalah kalimat yang menyerang diri nya sendiri.

Simpelnya begini, anda berkata kepada saya bahwa "kebenaran itu bersifat relatif". Sementara saya berkata bahwa "kebenaran itu bersifat mutlak". Anda tentu beranggapan bahwa opini anda tentang kebenaran yang relatif itu tentulah benar. Tetapi anda lupa bahwa anda sendiri mengatakan bahwa kebenaran itu relatif, bukan? Inilah maksud saya bahwa kalimat diatas sangatlah absurd dan membunuh kalimat itu sendiri.

Saya sangat setuju dengan argumentasi Ravi Zacharias untuk menentang paham relativisme. Berikut kutipannya.
"If I make the statement all truth is relative, that statement either includes itself or excludes itself. If it includes itself, that means that statement is also relative which means it's not always true. If it excludes itself than it's positing an absolute while denying that absolutes actually exist." ~ Ravi Zacharias

Lagipula, apa yang bisa kita lakukan jika tidak ada sesuatu yang mutlak? Bukankah segalanya akan menjadi kacau? Lalu lintas akan menjadi kacau jika lampu lalu lintas sudah tidak dipercaya sebagai sebuah standar yang absolut karena anda memiliki "kebenaran" anda sendiri untuk memutuskan apakah anda berhenti atau tetap melaju ketika tiba diperempatan jalan. Anda bisa bayangkan kekacauan seperti apa yang akan terjadi jika setiap orang yang ada diperempatan jalan itu tidak percaya pada lampu lalu lintas tersebut karena memiliki persepsi masing-masing tentang kebenaran untuk tetap melaju atau berhenti. Untuk itulah kita butuh standard dan tolak ukur yang mutlak untuk memutuskan apa yang benar dan yang salah.

Jadi mau tidak mau, secara rendah hati kita harus mengakui bahwa kebenaran itu mutlak. Tidak mungkin dua hal yang berbeda sama-sama benar. Akan hanya ada satu yang benar. Kebenaran tidak pernah memihak siapapun. 

Mood manusia berubah, kebenaran tidak. 

Bacaan Rujukan :
1. Conversational Evangelisem
2. Jesus Among Other Gods
3. Who Made God
4. Mere Christianity

Wednesday, July 4, 2012

Rasional Tapi Juga Emosional

Saya baru saja membuka sebuah grup yang saya ikuti di Facebook. Di grup tersebut ada sebuah topik yang mengundang banyak komentar. Saya sendiri tidak ikut berkomentar dan hanya mengamati komentar-komentar yang ada. Saya dapat menganalisis bahwa komentar-komentar tersebut mulai saling serang antara satu dengan yang lain.

Sebenarnya ada seseorang yang menurut saya memiliki pemikiran yang bagus. Saya juga cukup sependapat dengan maksud komentarnya. Tetapi yang membuat saya menjadi tidak bisa menerima komentarnya ialah dari kalimat-kalimatnya yang pedas dalam menyampaikan komentarnya. Akibatnya, orang yang diserang secara natur manusia membangun mekanisme defensif dalam dirinya walaupun dia tahu bahwa komentar yang menyerang dia itu tidak ada kesalahan dalam kontennya.

Itulah natur manusia yang mau tidak mau melekat dalam diri manusia. Kita sering lupa bahwa selain mahluk rasional, manusia itu juga memiliki sisi emosional. Maksud saya, walaupun kita tahu bahwa apa yang orang sampaikan itu benar secara rasional, tetapi cara penyampaiannya tidak mengenakkan dan menyinggung secara emosional, maka sulit untuk bisa menerima kata-kata orang tersebut.

Adalah penting untuk berkata benar, tetapi tidak kalah penting juga untuk menyampaikannya dengan cara yang benar sehingga orang yang mendengarkan perkataan kita bisa menerima pendapat kita dengan terbuka dan senang hati tanpa merasa dihakimi dan tanpa merasa diserang. Akan lebih baik lagi jika kita mengenal karakter/latar belakang orang yang kita ajak berdiskusi agar kita tahu bagaimana cara menyampaikan pendapat kita kepadanya tanpa menyinggung perasaannya.

Well, manusia itu mahluk rasional tapi juga punya sisi emosional.
Seperti kata pepatah :
"Saya tidak peduli seberapa banyak yg anda tahu sampai saya tahu seberapa banyak anda peduli"