Tuesday, March 6, 2012

Konversi Bahan Bakar Minyak ke Gas

Menurut pemahaman saya, setidaknya ada dua alasan utama mengapa isu konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) perlu terus digalakkan dan kemudian diimplementasikan. Alasan pertama ialah adanya komitmen negara Indonesia terhadap pengurangan emisi gas pada efek rumah kaca berdasarkan komitmen yang ditandatangani pada G20 Leaders Summit 25 September 2009, di Pittsburgh, Amerika Serikat dan alasan yang kedua adalah karena konversi (diversifikasi) BBM ke BBG akan sangat menghemat APBN.

Melalui pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam G20 Leaders Summit 25 September 2009, di Pittsburgh, Amerika Serikat, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi  gas rumah kacanya setidaknya 26 % (business as usual) atau 41 % (dengan bantuan internasional) dari skenario normal pada tahun 2020. Sebagai langkah tindak lanjut, disusun roadmap penurunan emisi GRK per sektor termasuk sektor energi. Dalam roadmap tersebut sektor energi dan transportasi diberikan tugas untuk menurunkan emisi GRK sebesar 5% dari skenario 26%.

Sepanjang tahun 2011, pemerintah melalui APBN menggelontarkan biaya sebesar 165 Triliun Rupiah untuk subsidi BBM. Dari 165 Triliun tersebut, kira-kira sebesar 90 Triliun dipakai untuk pembangkit listrik yang memakai BBM. Hal itu disebabkan oleh harga produksi listrik dengan memakai minyak (diesel) adalah Rp 4.796/kWh, sementara harga jual listrik domestik hanya sebesar Rp 656/kWh. Selisih antara harga produksi dan harga jual ini tentu sangat besar sekali sehingga tidak heran pemakaian subsidi untuk listrik mencapai 90 triliun rupiah. Oleh karena itu, disatu sisi, penggunakan bahan bakar minyak (BBM) untuk pembangkit listrik harus dikurangi. 

Memang dari sektor ketenagalistrikan, saat ini pembangkit listrik di Indonesia  masih didominasi oleh penggunaan bahan bakar fosil, khususnya batubara. Harga produksi listrik dengan memakai batubara/gas memang jauh lebih murah dibandingkan dengan memakai minyak. Harga produksi listrik batubara/gas berkisar antara Rp 622/kWh. Tetapi daerah yang masih mengalami kekurangan daya listrik seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara, pembangkit listriknya masih menggunakan BBM, yang dalam komponen biaya pembangkitan masih merupakan komponen terbesar. Memang dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasioanl (RUKN) 2010-2030, dalam kurun 20 tahun ke depan Indonesia memerlukan tambahan tenaga listrik kumulatif sebesar 172 GW. Dari jumlah itu, 82% (sekitar 142 GW) diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan Jawa-Madura-Bali (JAMALI).  Tambahan kapasitas PLTU Batubara mencapai pangsa sekitar 79% atau mendominasi dengan total penambahan kapasitas sebesar 116,4 GW. Tambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga air (PLTA) selama kurun waktu tersebut adalah sebesar 3,8 GW. Hal ini tentu menunjukkan bahwa pemerintah telah merencanakan untuk menambah pembangkit listrik tenaga batubara/gas, sehingga pemakaian BBM bisa dikurangi.


Pemakaian BBM untuk transportasi tentu saja membutuhkan subsidi. Saat ini harga bensin/solar per liter nya adalah berada pada harga Rp 4.500/liter. Jika dibandingkan dengan harga-harga bensin di negara-negara berikut, harga bensin/solar di Indonesia masih masuk dalam kategori murah.
India, Brazil : Rp 14.000/liter
Cina : Rp 9.000/liter

Harga bensin/solar di Indonesia ini memang mengikuti harga bensin di negara-negara kaya minyak (seperti Iran ataupun Uni Eminat Arab). Menurut Wamen ESDM Widjajono, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) murah sekali akan menyebabkan terkurasnya dana Pemerintah hanya untuk subsidi BBM. Padahal Indonesia bukanlah negara kaya minyak. 
Menurut wakil menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo berdasarkan data dari ESDM 2011, Indonesia

memproduksi minyak sebesar 345 juta barel, 
mengekspor minyak mentah sebesar 130 juta barel, 
mengimpor minyak mentah sebesar 103 juta barel dan BBM sebesar 124 juta barel pada tahun 2010, 
dan mengkonsumsi 423 barel. 
Terdapat defisit sebesar 97 juta barel per tahun. 
Cadangan minyak hanya 3,7 miliar barel atau 0,3% cadangan minyak dunia. 

Sehingga sebagai Negara net importer minyak dan yang tidak memiliki cadangan minyak yang banyak, tidak bijaksana apabila Indonesia mengikuti harga BBM murah di negara yang cadangan minyak dan produksi minyaknya melimpah seperti Iran, Arab Saudi, atau Nigeria.

Eksport minyak mentah adalah hal yang tidak bisa dihindari biarpun kebutuhan dalam negeri masih kurang. Karena eksport minyak mentah adalah bagian dari kontrak dengan para kontraktor minyak yang mengelola wilayah kerja pengeboran minyak.

Karena kita bukan kaya minyak, maka kita harus beralih dari penggunaan minyak ke penggunaan gas baik di sektor ketenagalistrikan maupun sektor transportasi. Apabila kita berhasil mengurangi pemakaian BBM maka kita bisa memperoleh dana untuk pembangunan infrastruktur lainnya. Untuk sektor transportasi, konversi BBM ke BBG adalah cara yang harus dilakukan untuk menguranginya. Salah satu caranya ialah dengan memakai alat yang bernama Converter Kit pada kendaraan bermotor. 

Produk converter kit yang akan digunakan nantinya terbagi dua bagian yaitu tabung dan kit. Tabung nantinya akan digunakan untuk menyimpan gas yang diletakkan di bagasi mobil. Sementara, kit dipasang di bagian mesin mobil. Nantinya walaupun sudah menggunakan bahan bakar gas, kendaraan masih memerlukan bahan bakar mesin untuk proses menyalakan mesin. Start-nya memakai BBM, nanti diatur oleh komputer (chip) dan beberapa detik kemudian pindah ke gas.

Chip ini akan mengatur konsumsi BBG dan BBM di dalam mesin. Sebagai contoh, jika terjadi masalah pada kit atau gas telah habis, chip secara otomatis mengalihkan konsumsi ke BBM. Pada peralatan converter kit ini, pemerintah nantinya juga akan melengkapi dengan sebuah Radio Frequentcy Identification (RFID) yang terkontrol secara terpusat. Alat RFID ini akan mengontrol dan melaporkan penggunaan gas dari sebuah mobil yang telah dipasangi converter kit.

Untuk mensukseskan program konversi gas untuk kendaraan bermotor ini tentunya dibutuhkan kerjasama dan koordinasi khususnya dari semua kementrian terkait dan juga dari semua pihak pada umumnya. Pasokan gas dalam negeri harus dijaga, penyiapan infrastruktur yang baik (jalan, jaringan pipa gas, SPBG, kualitas angkutan umum,dsb), perakitan dan manufakturing Converter Kit dengan harga yang terjangkau dan menguntungkan dan , sosialisasi kepada masyarakat, pemberian insentif pengguna BBG, dll.

Hal penting lainnya untuk mendukung program ini ialah membuat peraturan untuk kedepannya agar setiap kendaraan bermotor yang diimpor dari luar negeri harus sudah terpasang Converter Kit sehingga konsumen tidak direpotkan lagi.

Harry Panjaitan
Menteri ESDM*

in progress

No comments:

Post a Comment