Friday, December 23, 2011

Jika Surga dan Neraka Tidak ada?

Beberapa hari yang lalu, saya melihat sebuah foto yang dipost oleh teman saya di halaman Facebooknya. Foto itu cukup menarik perhatian saya karena sebuah tulisan yang ada pada foto tersebut. Tulisan itu adalah :
If there is no hell and heaven, will you still praise God? 

1. Sebuah pertanyaan yang keliru
Saya mencoba merenungkan pertanyaan tersebut dan akhirnya menyimpulkan bahwa kita tidak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan seperti itu. Pertanyaan tersebut cacat. Itu saja. Bagaimana mungkin kita bisa menjawab pertanyaan yang isinya saja sudah salah. Tidak mungkin tidak ada surga dan neraka sehingga mustahil kita bisa memberikan jawaban terhadap pertanyaan seperti itu. Sama seperti berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan "siapakah suami dari gadis yang belum menikah itu?" atau "siapakah saudara kandung dari anak semata wayang tersebut?". Bagaimana mungkin anda bisa menjawab pertanyaan yang isi dari pertanyaannya saja salah? Mustahil. Kalaupun kita mencoba secara asal-asalan menjawabnya, tentu jawaban kita adalah jawaban yang pasti ngawur.
You can’t find the right answer if you’re asking the wrong question
Surga dan neraka tidak mungkin tidak ada. Karena dalam semua agama (kepercayaan) mempercayai adanya semacam surga untuk orang-orang saleh dan patuh terhadap ajaran agama dan neraka untuk orang-orang yang membangkang. Walaupun ada keistimewaan dalam iman Kristen perihal surga dan neraka tapi pada intinya semua orang yang beragama (teisme) diajarkan tentang surga dan neraka.

Khusus untuk orang yang tidak percaya ada Allah (ateisme), mungkin pemaparan diatas belum cukup memuaskan. Mereka akan berpikir, mengapa harus ada surga dan neraka? Mengapa harus ada Tuhan? 
Sebelum kita membahas tentang keberadaan surga dan neraka, kita harus membahas tentang keberadaan Allah terlebih dahulu. Karena Allah lah yang telah menyediakan tempat seperti itu.
Bagi iman Kristen (pada dasarnya) neraka adalah tempat dimana kita mengalami keterpisahan dari Kasih Allah dan mengalami penghukuman atas dosa-dosa kita. Sebaliknya surga adalah tempat dimana kita mengalami Kasih Karunia Allah, dan bebas dari penghukuman atas dosa.

2. Masalah kejahatan dan keberadaan Allah
Lalu, bagaimana kita tahu bahwa Allah itu ada? Biasanya orang-orang ateis selalu mengaitkan antara kejahatan dengan keberadaan Allah. Mereka pada umumnya berpikir bahwa tidak mungkin kejahatan ada kalau Allah ada. Bagaimana mungkin Allah yang maha baik itu membiarkan kejahatan dan penderitaan merajalela? Mengapa Allah yang baik itu membiarkan penderitaan, kelaparan, kemiskinan, dan peperangan itu terjadi? Mengapa Allah yang adil itu membiarkan kejahatan dan ketidakadilan terjadi di bumi ini? Lalu dimanakah Allah itu? Apakah Dia berkeinginan mencegah kejahatan dan ketidakadilan, namun tidak mampu? Maka Ia tidak Maha Kuasa. Apakah Dia mampu,tetapi tidak ingin? Maka Ia jahat. Apakah Ia mampu dan ingin? Lalu bagaimana mungkin bisa ada kejahatan dan ketidakadilan?

Pastilah semua orang dengan pemikiran yang sehat di muka bumi ini mengatakan bahwa  yang dilakukan Hitler terhadap jutaan orang-orang Yahudi adalah kejahatan yang sangat mengerikan. Pastilah kita semua mengutuk perbuatan keji seorang pria yang dengan tega memperkosa seorang gadis. Pastilah kita semua menyayangkan tindakan seorang anak yang membunuh ibu nya sendiri. Pastilah kita geram dengan para perampok yang merampok seluruh isi rumah kita. Itu semua adalah contoh-contoh kejahatan. Kita mengkategorikan itu semuanya sebagai kejahatan.

Tetapi tahukah anda bahwa perihal mengkategorikan perbuatan Hitler, pria,anak,dan perampok dalam kasus-kasus tersebut sebagai sebuah tindakan kejahatan mengangkat sebuah masalah filosofis yang penting.
Kita semua sepakat bahwa jika seseorang ingin mengklaim bahwa sesuatu itu jahat, maka ia harus bertanya dengan kriteria apa seseuatu itu dikatakan jahat. Apa yang menjadi tolak ukur dan standard nya untuk memutuskan sesuatu itu jahat dan yang lain itu baik. Bagaimana seseorang mengatakan hal itu jahat dan yang lain nya baik? Alat pengukur moral apakah yang sedang dipakai untuk mengukur “sesuatu” itu.  Dengan proses apakah kejahatan itu dibedakan dari kebaikan dan sebaliknya?

Mustahil untuk membedakan kejahatan dari kebaikan KECUALI seseorang memiliki sebuah titik acuan yang mutlak dan yang benar-benar baik. Kita tidak akan pernah bisa mengkategorikan sesuatu itu jahat atau baik tanpa titik acuan yang mutlak dan benar-benar baik itu. Titik acuan yang mutlak dan benar-benar baik itu hanya ditemukan dalam pribadi Allah yang Maha Kuasa,Maha Kasih dan Maha Adil. Maka dengan itu, pastilah ada Allah yang berkuasa di alam semesta ini. Kita belum berbicara Allah orang Kristen disini. Yang penting Allah itu memang ada, titik.

Untuk berkilah dari argumen diatas, beberapa orang skeptik berusaha menghindarinya dengan mengatakan bahwa tidak ada yang namanya kejahatan ataupun kebaikan. Itu semua hanya sudut pandang manusia melihatnya. Dia tidak percaya ada benar dan salah.
Untuk menghadapi argumen seperti ini, C.S Lewis dalam bukunya Mere Christianity memberikan jawaban dengan sangat baik :

Setiap kali anda menemukan seorang pria yang berkata bahwa ia tidak percaya bahwa Benar dan Salah itu memang ada, anda akan mendapati pria yang sama kembali pada hal ini beberapa saat kemudian. Ia mungkin saja melanggar janjinya pada anda, tetapi jika anda mencoba untuk tidak menepati janji anda kepadanya satu kali, maka ia akan mengeluh "Tidak Adil!" sebelum anda sempat berkedip.

Jadi tampaknya kita dipaksa untuk harus percaya bahwa Benar dan Salah itu memang nyata. Sampai disini argumen orang skeptik tersebut terpatahkan.

Berbeda dengan hal diatas, ternyata ada orang skeptik yang memang mempercayai adanya kebaikan dan kejahatan, benar dan salah. Saya pernah membaca debat antara tokoh ateis Bertrand Russell dengan Filsuf Kristen Frederick Copleston. Dalam perdebatan itu Copleston bertanya pada Russell apakah dia percaya pada kebaikan dan kejahatan. Russell mengaku percaya dan Copleston meresponi dengan bertanya bagaimana Russell mengkategorikan kejahatan dengan kebaikan. Russell berkata bahwa dia membedakan baik dan jahat sama seperti membedakan warna.
"Tapi anda membedakan warna dengan melihat bukan?" Copleston mengingatkan Russell "Bagaimana anda membedakan yang baik dan jahat?"
"Berdasarkan perasaan, memang dengan apa lagi?" jawab Russell cepat.

Bagaimana caranya, secara logis, kita dapat menilai baik dan jahat hanya dengan perasaan? Perasaan siapa? Hitler atau Bunda Teresa? Dengan kata lain pasti ada hukum moral, sebuah standar untuk menentukan baik dan buruk. Kemudian kalau ada hukum moral maka kita harus menerima fakta bahwa ada yang membuat hukum moral itu. Siapa lagi kalau bukan Allah yang menaruh hukum moral itu dalam setiap diri manusia. Jika tidak ada Allah, maka tidak ada hukum moral, dan tidak ada kejahatan ataupun kebaikan dan pada akhirnya orang-orang ateis akan terjebak dengan perangkap yang dibuatnya sendiri untuk menghancurkan teisme.

Argumentasi yang mungkin diberikan oleh orang ateis biasanya adalah "Lalu, mengapa Allah tidak menciptakan kita untuk melakukan perbuatan yang baik saja?" Jika memang seperti itu jadinya, maka itu bukanlah kasih. Jika seperti itu yang terjadi, maka skenario seperti itu akan berarti bahwa kita bukanlah benar-benar manusia. Kita tidak akan pernah membuat keputusan dan mencintai dengan bebas. Kita tidak ada bedanya dengan robot-robot yang diprogram untuk melakukan suatu perintah saja. Kita tidak ada bedanya dengan boneka yang dapat berbicata, yang ketika anda tarik talinya, boneka itu dapat mengatakan “saya mencintai Mu”.  Kasih sejati itu bukanlah paksaan. Kasih menjamin kebebasan dalam memilih. Manusia bukan lah robot yang diprogram untuk melakukan suatu perintah saja. Manusia berbeda dengan robot bukan? Dan Allah tidak menciptakan robot. Allah ingin kita menyambut kasihNya karena memang kita rindu akan kasihNya, bukan karena paksaan. Disitulah kasih diwujudkan.

3. Ilmu pengetahuan dan keberadaan Allah
Terlepas dari itu semua, kaum ateis tampaknya belum puas dengan pemaparan diatas. Biarpun dengan semua argumen-argumen diatas, mereka tetap beranggapan bahwa Allah itu tidak ada. Saya cenderung mengatakan bahwa sebenarnya mereka tidak ingin Allah ada. Stephen Hawking, Fisikawan Terkenal di Cambridge University merupakan seorang ateis. Dia beranggapan bahwa alam semesta sudah ada dengan sendirinya. Allah tidak menciptakan alam semesta karena menurutnya Allah tidak ada. Hawking menambahkan bahwasanya segala hukum-hukum fisika dapat menciptakan segala yang ada dalam semesta. Fisika tidak memiliki tempat untuk Allah.
"..because there is a law such as gravity, the Universe can and will create itself from nothing."  (Stephen Hawking)
Ada beberapa kejanggalan dari kalimat Hawking diatas. Isi kalimatnya begitu absurd (tidak masuk akal) :

Pertama : Pernyataan Hawking diatas dengan jelas mengasumsikan bahwa hukum-hukum fisika seperti hukum gravitasi sudah ada sebelumnya (sehingga mampu menciptakan semesta). Tetapi ternyata isi kalimat berikutnya saling berkontradiksi karena dia sendiri mengatakan bahwa semesta dapat menciptakan dirinya sendiri dari sesuatu yg tidak ada (padahal di awal kalimat dia dengan jelas mengatakan bahwa ada hukum gravitasi yang menciptakan semesta). Jika saya mengatakan " x menciptakan y" ini mensyaratkan keberadaan x untuk selanjutnya menciptakan y. Jika semesta belum pernah ada (nothing) bagaimana mungkin dia menciptakan dirinya sendiri? Hanya Yang Sudah Ada yang mampu menciptakan yang tidak ada. Karena itulah keberadaan Allah tidak dapat disangkal oleh siapapun.

Kedua : Hukum-hukum fisika memang menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi didalam semesta. Tetapi dia sendiri tidaklah menciptakan semesta. Hukum gravitasi akan menjelaskan kepada kita bagaimana keadaan sebuah benda ketika dilepaskan dari sebuah ketinggian tetapi hukum tersebut tidaklah menciptakan gravitasi. Hukum Gravitasi tidak menciptakan gravitasi itu sendiri.

Contoh yang lain yang paling sederhana adalah hukum dalam aritmatika yang mengatakan bahwa 1+1 = 2.  Jika saya menyimpan uang sebanyak 1 juta direkening saya dan diwaktu yang lain menyimpan 1 juta lagi, hukum aritmatika dengan rasional akan menjelaskan bahwa sekarang saya sudah memiliki 2 jt didalam rekening. Tetapi jika saya tidak pernah menyimpan uang di bank dan hanya berharap kepada hukum aritmatika, mustahil tercipta uang sebanyak 2 jt direkening saya.

Disini kita melihat bahwa semua hukum-hukum di alam ini hanya mampu menjelaskan fenomena yang ada pada kondisi-kondisi yang sudah ditentukan. Tetapi hukum-hukum tersebut tidak mampu menciptakan apapun. Hawking’s view makes no sense— in every sense of that word.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan kalimat ini : bahwa segala pemikiran-pemikiran skeptik yang berusaha meniadakan eksistensi Allah justru merupakan awal dari kejatuhan manusia pertama. Dalam iman Kristen, kejatuhan Adam ke dalam dosa pertama kalinya ialah karena keinginan untuk menjadi Allah, berusaha untuk tidak terikat kepada Allah, menjadi tuhan atas dirinya sendiri dan meniadakan Allah. Dari keinginan tersebut lah lahir berbagai macam kejahatan dan penderitaan (peperangan, kejahatan seksual, pencurian, pembunuhan, keegoisan, dsb).

C.S Lewis pernah mengatakan seperti ini :
Mengapa ada kehausan unik yang dialami oleh semua manusia jika hal itu tidak dapat atau tidak mungkin dipuaskan? Mahluk hidup tidak akan lahir dengan keinginan jika pemuasan akan keinginan itu tidak ada. Seorang bayi merasa lapar, dan memang ada yang namanya makanan. Seekor itik ingin berenang dan memang ada yang namanya air..Mengapa kita memiliki kekosongan akan Allah dalam hati dan pikiran kita, kecuali kekosongan itu ada untuk dipenuhi?
Kepercayaan-kepercayaan primitif manusia purbakala (seperti menyembah pohon,dsb) menunjukkan bahwa ada natur alami manusia untuk menyembah sesuatu yang sangat berkuasa atas semesta ini. Manusia tidak bisa menyangkal natur ini.

Bekasi, 22 Des 2011
Science without religion is lame, religion without science is blind." - Albert Einstein

No comments:

Post a Comment