Friday, December 16, 2011

Bunuh diri : pengorbanan atau kekecewaan? Pahlawan atau pecundang?

 Hanya sebuah opini saya saja...Saya berusaha dengan sehati-hati mungkin menuliskan opini saya ini dan mohon maaf bila ada yang tidak setuju atau mau menyanggah pendapat saya. Saya sangat terbuka dengan diskusi.


Berita yang sedang hangat-hangatnya saat ini adalah kasus seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta yang memilih untuk bunuh diri dengan membakar dirinya hidup-hidup. Setahu saya yang menjadi alasan mahasiswa tersebut bunuh diri adalah respon akibat lemahnya penegakan Hak Asasi Manusia di negara Indonesia. Dia melakukan aksi bakar diri di depan istana merdeka bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia.

Saya mengamati berbagai macam tanggapan dari berbagai pihak tentang aksi bunuh diri ini. Saya tidak akan membahas masalah politik disini, tetapi lebih kepada masalah filosofis tentang aksi bunuh diri. Pertanyaan paling mendasar menurut saya adalah :

" Apakah aksi bunuh diri yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut merupakan tindakan yang tepat ?"

Selama hidup kita akan selalu menghadapi masalah. Masalah tersebut dapat kita pandang sebagai sebuah batu sandungan ataupun batu loncatan kehidupan. Semua tergantung dari paradigma kita saja. Menurut saya sesederhana itu kog. Bagaimana paradigma kita memandang masalah menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya, asalkan kita tetap mau berusaha dan tidak menyerah maka pasti akan ada jalan keluar.

Jika melihat kasus ini, mahasiswa tersebut memilih bunuh diri sebagai jalan keluar yang terbaik menurut dia. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran nya saat dia membakar dirinya sendiri. Mungkin saja dia berpikir bahwa masalah HAM di negara ini sudah sedemikian hancurnya dan tidak ada harapan lagi. Kekecewaan yang begitu besar akibat penegakan HAM tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya membuat dia memilih bunuh diri saja. Atau mungkin juga, saat dia melakukan bunuh diri, dia berpikir bahwa dengan kematiannya maka pemerintah akan lebih serius dalam menangani kasus HAM di Indonesia. Mahasiswa tersebut mungkin melihat bahwa inilah satu-satunya cara untuk menyadarkan pemerintah bahwa masalah HAM harus ditangani dengan lebih serius.

Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu mengetahui sudah separah apakah kasus HAM di negara kita sehingga mampu membuat seorang mahasiswa bunuh diri atas nama HAM. Saya lebih konsen untuk merenungkan dan memikirkan apakah BUNUH DIRI dengan alasan apapun merupakan tindakan yang benar?

Saya mencoba fair dengan melihat masalah ini dari berbagai sudut pandang. Jika memang alasan bunuh diri adalah karena kekecewaan terhadap masalah HAM di Indonesia maka saya akan dengan cepat mengatakan bahwa aksi bunuh diri yang dilakukan tersebut adalah hal yang salah. Kekecewaan adalah tanda menyerah. Menyerah terhadap keadaan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dan akhirnya memilih mati saja karena tidak sanggup melihat keadaan. Bunuh diri akibat kekecewaan adalah tindakan pecundang!. Dan ini adalah contoh yang buruk bagi para pemuda lainnya. Sungguh hina rasanya jika aksi dengan alasan seperti ini didukung. Saya khawatir para generasi penerus bangsa terkontaminasi dengan mental pecundang dan tidak berani melawan keadaan dengan aksi seperti ini. Seburuk apapun keadaan, kita harus tetap berjuang dan tidak menyerah. Hanya yang hidup yang bisa berjuang, bukan?

Tetapi... 
Jika yang menjadi alasan bunuh diri adalah untuk menyadarkan pemerintah agar lebih serius menanggapi masalah HAM (bukan karena kekecewaan yg tadi saya sebutkan), ini membuat saya tidak cepat-cepat mengambil kesimpulan benar atau salah. Bisa jadi aksi bunuh diri ini adalah sebuah "pengorbanan". Karena dalam pikiran nya, dia melihat bahwa demonstrasi dan diskusi-diskusi tidak sanggup lagi menyadarkan pemerintah. Bunuh diri adalah jalan keluar satu-satunya agar pemerintah bisa melihat bahwa ada orang yang bersedia bunuh diri demi penuntasan masalah HAM di Indonesia.

Tentu saja kita tidak bisa lagi menanyakan kepada mahasiswa tersebut apakah yang menjadi alasan nya untuk bunuh diri? Apakah memang murni karena masalah HAM ataukah ada masalah-masalah diluar HAM yang memang sudah menumpuk di dalam dirinya.

Saya berusaha untuk tidak skeptis dan membuat asumsi bahwa dia bunuh diri adalah murni karena sebagai bentuk "pengorbanan" demi tegaknya HAM di negara ini. Tetapi saya jadi bertanya lagi, benarkah bunuh diri adalah jalan keluar satu-satunya? Tidak adakah cara lain?

Dan kalaupun masalah HAM di negara ini benar-benar yang terpenting buat dia sehingga mau "mengorbankan nyawanya", apakah dia tidak bisa memperjuangkan HAM dengan cara-cara lain yang membuat semua orang menghormati dia dan melanjutkan perjuangannya. Bukankah dengan cara bunuh diri seperti ini, akan ada pihak yang mendukung dan mencaci aksinya? Apakah dia juga berharap bahwa aksi bunuh diri atas nama HAM ini merupakan bentuk perjuangan yang harus diteladani dan diikuti? Atau mungkin dia memang tidak butuh penghormatan dari siapapun dan tidak peduli apakah akan ada mahasiswa lain yang meniru aksinya.  Dan apakah saat melakukan aksi bunuh diri, dia benar-benar yakin dalam lubuk hatinya yang terdalam bahwa ini merupakan tindakan yang BAIK dan BENAR?

Saya lagi-lagi berusaha untuk tidak skeptis dan berasumsi bahwa dia benar-benar sudah mempertimbangkan konsekuensi dari perbuatan nya ini di bumi dan di akhirat nanti dan akhirnya memilih bunuh diri. Kalau dia memang sangat mendambakan penegakan Hak Asasi Manusia (lebih dari nyawanya) itu menunjukkan bahwa dia memiliki rasa empati dan kasih yang begitu luar biasa bagi sesamanya manusia. Akan menjadi sesuatu yang naif (munafik) jika dia memperjuangkan HAM tetapi dia tidak memiliki rasa kasih dan empati terhadap sesamanya.
Saya jadi penasaran ingin tahu bagaimana keseharian mahasiswa ini sejak masa kecil hingga dia duduk di bangku mahasiswa. Apakah dalam kesehariannya, dia benar-benar mempraktekkan empati dan kasih terhadap setiap orang yang ditemuinya? Terhadap teman-temanya, terhadap orang tuanya, terhadap saudaranya, maupun terhadap orang-orang jalanan yang setiap hari ditemuinya. Jika seandainya dia gagal dan tidak benar-benar menunjukkan empati dan kasih (yang lebih besar dari orang lain), maka saya curiga bahwa aksi bunuh dirinya bukanlah atas dasar kasih dan empati terhadap sesamanya manusia. Bukanlah atas dasar harapan yang besar akan penegakan HAM buat semua masyarakat Indonesia. Tidak mungkin pohon apel menghasilkan buah durian, dan tidak mungkin dia memperjuangkan HAM tanpa memiliki semangat kasih dan empati terhadap manusia. Karena dasar perjuangan Hak Asasi Manusia adalah kasih dan kepedulian terhadap sesama yang dipupuk sejak dini. Titik.

Karena saya tidak tahu bagaimana keseharian mahasiswa tersebut, lagi-lagi saya berusaha untuk tidak skeptis dan berasumsi bahwa mahasiswa ini memang mampu menunjukkan kepedulian dan kasihnya dalam kehidupan sehari-hari. Kasih dan kepeduliannya terhadap sesama manusia yang dipupuk nya sejak kecil hingga mahasiswa telah membawa dia kepada "pengorbanan diri" demi penegakan HAM.

Mari, kita mundur ke belakang dan melihat kembali pertanyaan mendasarnya? Dengan tidak bersikap skeptis melalui asumsi-asumsi yang saya buat tadi...

Apakah aksi bunuh dirinya itu merupakan tindakan yang benar?

Jika memakai asumsi yang tidak skeptis tadi kita dapat melihat bahwa mahasiswa ini adalah mahasiswa yang MURNI memperjuangkan HAM. Bukan atas dasar kekecewaan karena keadaan HAM yang kacau. Bukan karena jiwa pengecut dan menyerah karena merasa tidak ada harapan lagi tegaknya HAM di Indonesia. Selain itu, saya juga membuat asumsi bahwa mahasiswa ini dalam kesehariannya memang mampu menunjukkan kasih dan kepeduliannya kepada setiap orang yang dijumpainya. Kasih dan kepeduliannya yang amat besar tersebut jugalah yang membawa dia ikut memperjuangkan HAM dan "mengorbankan" nyawanya demi tegaknya HAM. Sehingga tindakaan bunuh dirinya itu bukanlah tindakan yang naif dan munafik. Karena sebelum dia bunuh diripun, dia sukses menunjukkan praktek kasih dan kepedulian kepada sesama manusia yang amat begitu besarnya selama dia masih hidup. Selain itu, dia bunuh diri adalah MURNI hanya karena "memperjuangkan" masalah HAM saja. Bukan karena masalah-masalah lain yang bertumpuk dikepalanya.

Lalu, jika memakai semua asumsi-asumsi tadi sebagai alasan dia memutuskan untuk bunuh diri, patutkah kita memandang dia sebagai "pahlawan penegakan HAM" di Indonesia ? Dan lebih lanjut, apakah tindakan bunuh diri yang dilakukan nya dapat dibenarkan?

No comments:

Post a Comment