Pertama. Saya tidak akan ragu akan hal ini : Bahwa dosa menyebabkan banyak sekali penderitaan manusia. Dosa pada dasarnya adalah ketidaktaatan manusia terhadap Allah. Penderitaan manusia sebenarnya adalah karena ulah manusia itu sendiri yang lebih mentaati yang lain dibandingkan Allah. Lebih lanjut, ketika seseorang berdosa ia tidak hanya memunculkan penderitaan kepada dirinya sendiri tetapi juga akan membuat orang lain menderita akibat perbuatan dosanya. Alkitab banyak memberikan contohnya (Kisah Adam, Hawa, Abraham, Simson, Daud, Salomo, Raja Firaun, Raja Herodes, dll). Yakobus 1:14-15 berkata :
Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.Jadi, ketika kita dalam kondisi sulit, coba cek apakah kita telah melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Memang kondisi sulit yang kita alami tidak serta merta menunjukkan kita sedang tidak taat. Tetapi ketidaktaan kita pada Firman Allah (dosa) pasti memunculkan penderitaan bagi diri sendiri dan bahkan bagi orang lain.
Kedua, berkaitan dengan yang pertama, sekarang saya agak bingung apa perbedaan antara berada dalam "zona nyaman" dan "rasa damai". Sampai saat ini saya merasa zona nyaman adalah kondisi yang harus kita hindari kalau ingin men-improve diri. Rasa tidak nyaman akan muncul sebagai akibat keluar dari zona tersebut. Misalnya ketika pertama kali memberanikan diri untuk pidato di depan umum kita pasti merasa gelisah dan tidak tenang tetapi itulah langkah awal untuk membiasakan diri cakap dalam berpidato. Dilain sisi, saya juga mendapatkan petunjuk bahwa "rasa damai" adalah indikasi kita sedang berjalan dalam rencana Tuhan (kita sedang melakukan kehendak Tuhan). Tetapi yang saya rasakan saat ini tidak bisa dikatakan damai (menurut defenisi "damai" yang saya pahami) karena saya memang sedang berusaha keluar dari zona nyaman saya dengan mengambil tantangan-tantangan baru yang bisa membuat saya bertumbuh. Singkat kata, apakah keluar dari zona nyaman (yang berarti munculnya rasa gelisah/tidak ada "rasa damai") bukan merupakan kehendak Tuhan? Kebingungan ini bertambah karena Alkitab juga memberi petunjuk pada saya bahwa Allah ingin saya bertumbuh dan memaksimalkan talenta yang sudah Dia berikan. Berarti Allah tidak ingin saya berlama-lama berada dalam zona nyaman saya. Mungkin kebingungan ini akan terjawab ketika saya mengetahui makna dan defenisi "rasa damai" yang dimaksud oleh Allah dalam Alkitab. Jadi, seperti apakah rasa damai yang benar itu?
Ketiga, saya heran melihat bangsa Indonesia saat ini. Jika belajar dari sejarah, Indonesia merdeka hasil perjuangan sendiri pada tahun 1945. Kemerdekaan bangsa ini dibayar dengan darah para pejuang. Tetapi sudah 67 tahun merdeka, kemajuan bangsa ini sangat lambat jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Sebut saja Malaysia yang baru merdeka pada tanggal 13 Agustus 1957 (selisih 12 tahun). Itupun bukan hasil perjuangan pertempuran melawan penjajah seperti Indonesia. Tetapi saat ini negara Malaysia sudah lebih maju dibandingkan Indonesia. Harusnya Malaysia tertinggal 12 tahun dari Indonesia bukan? Atau bandingkan dengan Jepang yang tahun 1945 dibombardir habis-habisan oleh bom atom tentara sekutu. Tetapi mereka cepat bangkit dan menjadi salah satu negara yang disegani diseluruh dunia. Lihatlah Singapura yang baru merdeka tahun 1965 (selisih 20 tahun!). Negeri yang tidak lebih luas dari DKI Jakarta ini menjadi negara maju dan disegani. Mengapa Indonesia yang sudah merdeka lebih dulu dari Singapura dan Malaysia malah sudah ketinggalan dari kedua negara tersebut? Mengapa Indonesia dan Jepang yang sama-sama mulai dari titik nol (tahun 1945) tetapi meraih pencapaian yang berbeda? Padahal Indonesia diberkahi dengan kekayaan alam, budaya, minyak, gas alam, bahan tambang, pertanian, perikanan, dll. Sangat kontras dengan Jepang, Malaysia, ataupun Singapura. Apakah saya salah jika menyebut bahwa ketertinggalan bangsa ini adalah karena mental anak bangsa nya yang telah kehilangan mental pejuang seperti para pahlawan kita dulu. Yang rela berkorban demi bangsanya, berani, tangguh, dan pantang menyerah. Mental seperti itulah yang harus ada dalam diri rakyat Indonesia jika ingin negara ini menjadi negara yang maju.
Keempat, saya tidak bisa membayangkan seandainya Nomensen tidak pergi ke Tapanuli untuk memberitakan Injil untuk bangsa Batak. Akan jadi apa bangsa Batak saat ini? Tapanuli yang berjarak sangat jauh dari kampung kelahiran Nomensen di Jerman menjadi sasaran penginjilan Nomensen. Syukur kepada Allah atas kehadiran Nomensen di tanah Batak dua abad lalu. Terimakasih buat para pahlawan iman yang membaktikan seluruh hidupnya dan meninggalkan segala-galanya demi memenangkan jiwa-jiwa manusia, membawa orang kepada Kristus. Soli Deo Gloria :)
No comments:
Post a Comment